SEKJEN APKASINDO: EUDR BERIKAN 5 DAMPAK BESAR BAGI PETANI SAWIT
European Union Deforestasion-Free Regulation (EUDR) yang bakal diberlakukan awal 2025 ini akan berdampak signifikan terhadap petani sawit di Indonesia. Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Rino Afrino menyebut setidaknya ada lima dampak diberlakukannya EUDR.
Pertama, petani kelapa sawit harus dianggap mempunyai peran penting dalam pasokan rantai/kemampuan penelusuran. Kedua, seluruh biaya pelaksanaan EUDR akan dibebankan kepada petani kelapa sawit (sebagian besar hulu) berupa penurunan harga/kenaikan diskon tandan buah segar (TBS).
“Ketiga, citra kelapa sawit di mata dunia akan semakin terpinggirkan. Keempat, harga CPO dan TBS akan turun sehingga menurunkan pendapatan petani sawit dan masyarakat karena ketakutan akan efek brussel (negara lain akan ikuti peraturan ini),” ujar Rino dalam diskusi “Kupas Tuntas Regulasi Perkelapasawitan Indonesia,” yang diselenggarakan sawitsetara.co, Selasa (30 April 2024).
Dampak kelima, Rino menambahkan akan ada segregasi kelapa sawit dan hal tersebut adalah diskriminasi. Keenam, perlunya percepatan pendataan melalui digitalisasi.
“Melihat dampak-dampak tersebut terhadap petani di Indonesia khususnya kelapa sawit, maka saya berharap dukungan berbagai pihak sudah waktunya bersatu untuk komoditas kelapa sawit,” tutur Rino.
Mengenai pemberlakuan EUDR tersebut, lanjut Rino, jutaan orang di Indonesia dalam hal ini petani kelapa sawit sudah jauh-jauh hari mengirimkan petisi ke Kedutaan Besar UE pada tanggal 29 Maret 2023:
“Pertama, penarikan target EUDR terhadap petani kelapa sawit dan petani Non-UE lainnya. Kedua, pencabutan Label “Risiko Tinggi” untuk Indonesia. Ketiga, menghormati dan mengakui ISPO sebagai standar sustainable. Keempat, pastikan UE tidak akan ada Lagi mendiskreditkan minyak sawit sebagai penyebabnya tanaman deforestasi. Kelima, permintaan maaf tertulis dari UE kepada jutaan petani kecil yang ada dipengaruhi oleh EUDR,” papar Rino.
Rino menguraikan, saat ini terdapat beberapa masalah yang masih menghinggapi petani kecil: Pertama, masih ada petani kecil yang tidak memiliki geolokasi dan pengetahuan/sumber daya tentang hamparan spasial/regional, dan lain-lain. Kedua, perkebunan kelapa sawit rakyat mencakup area seluas 6,94 juta hektar, namun produktivitasnya relatif rendah
Ketiga, masih terdapat petani kecil yang belum tergabung dalam Lembaga Pekebun dan memiliki rantai pasok langsung ke pabrik. Keempat, penting untuk mengumpulkan data petani kecil secara masif melalui STDB dan berpartisipasi di dalamnya Sertifikasi ISPO.
Kelima, kendala lahan terindikasi berada pada kawasan hutan dan tumpang tindih dengan HGU dan hak atas tanah lainnya.
Keenam, petani kecil harus menanggung tambahan investasi infrastruktur dan biaya pelatihan, untuk mendapatkan sertifikasi berkelanjutan untuk perkebunan mereka. Ketujuh, fluktuasi harga minyak sawit.
Meski begitu, menurut Rino petani terhadap komoditas kelapa sawit tidaklah kecil. Sebab, dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonnesia yang mencapai 16,38 juta hektar, seluas 42 persennya atau seluas 6,94 juta hektar dikuasai oleh ralyat atau petani. Selanjutnya, pemerintah telah mempunyai kebijakan hukum yang mewajibkan perusahaan untuk memfasilitasi pengembangan perkebunan rakyat setelah tahun 2007.
Lalu para pekebun atau petani yang mempunyai lahan kurang dari 25 hektar atau biasa disebut dengan pekebun rakyat tunduk pada mekanisme STDB sebagai data dasar berdasarkan nama berdasarkan alamat dan lokasi/peta perkebunan.
“Kendati demikian, pemerintah telah mempunyai kebijakan hukum yang mewajibkan perusahaan untuk memfasilitasi pengembangan perkebunan rakyat setelah tahun 2007,” pungkas Rino.