Harga Sawit Sepekan Naik 12% Didorong Harga Minyak Mentah

Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat. Kamis (13/9). Kebun Kelapa Sawit di Kawasan ini memiliki luas 1013 hektare dari Puluhan Blok perkebunan. Setiap harinya dari pagi hingga siang para pekerja panen tandan dari satu blok perkebunan. Siang hari Puluhan ton kelapa sawit ini diangkut dipabrik dikawasan Cimulang. Menurut data Kementeria Pertanian, secara nasional terdapat 14,03 juta hektare lahan sawit di Indonesia, dengan luasan sawit rakyat 5,61 juta hektare. Minyak kelapa sawit (CPO) masih menjadi komoditas ekspor terbesar Indonesia dengan volume ekspor 2017 sebesar 33,52 juta ton. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) menguat sepanjang pekan ini sekaligus mencatatkan kenaikan selama tujuh hari beruntun.

 

Pada akhir perdagangan pekan lalu (7/10/2022) harga CPO tercatat MYR3.837 per ton, melonjak 3,7% dibandingkan posisi sebelumnya. Sepanjang minggu harganya naik 12,32% secara point-to-point (ptp), terbaik sejak Mei 2021.

Harga minyak mentah dunia melambung 11,32% untuk Brent dan 16,54% jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) sepanjang pekan ini. Ini merupakan kenaikan terbesar sejak Februari 2022 saat konflik Rusia dan Ukraina memanas.

Penyebabnya adalah OPEC dan OPEC+ memutuskan mengurangi produksi sebesar 2 juta barel per hari (bph) pada pertemuan yang diselenggarakan di Wina pada Rabu (5/10/2022). Angka tersebut menjadi pemotongan yang terbesar sejak pandemi Covid-19 pada 2020 yang memangkas 10 juta bph.

 

Harga minyak telah jatuh menjadi sekitar US$$80-90 per barel dari lebih dari US$120 pada awal Juni di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang prospek resesi ekonomi global.

 

Produksi minyak mentah yang dipotong sebesar 2 juta barel sebenarnya masih lebih kecil dari angka di lapangan, di mana produksi OPEC+ turun 3,6 juta barel per hari pada Agustus. Kurangnya produksi terjadi karena sanksi Barat terhadap negara-negara seperti Rusia, Venezuela dan Iran. Ditambah dengan masalah produksi dengan produsen seperti Nigeria dan Angola.

Penyebabnya adalah OPEC dan OPEC+ memutuskan mengurangi produksi sebesar 2 juta barel per hari (bph) pada pertemuan yang diselenggarakan di Wina pada Rabu (5/10/2022). Angka tersebut menjadi pemotongan yang terbesar sejak pandemi Covid-19 pada 2020 yang memangkas 10 juta bph.

 

Harga minyak telah jatuh menjadi sekitar US$$80-90 per barel dari lebih dari US$120 pada awal Juni di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang prospek resesi ekonomi global.

 

Produksi minyak mentah yang dipotong sebesar 2 juta barel sebenarnya masih lebih kecil dari angka di lapangan, di mana produksi OPEC+ turun 3,6 juta barel per hari pada Agustus. Kurangnya produksi terjadi karena sanksi Barat terhadap negara-negara seperti Rusia, Venezuela dan Iran. Ditambah dengan masalah produksi dengan produsen seperti Nigeria dan Angola.

Meskipun menguat harga CPO masih dibayangi oleh sentimen resesi yang membuat para pelaku pasar khawatir akan membuat permintaan menyusut. Kekhawatiran resesi timbul karena para bank sentral kompak menaikkan suku bunga acuan.

 

Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, beberapa waktu lalu menaikkan suku bunga acuan hingga 75 basis poin (bps). Hal tersebut membawa tingkat suku bunga Fed berada di kisaran 3%-3,25% dan menjadi posisi tertinggi sejak awal 2008.

The Fed tampaknya tidak akan berhenti untuk menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi yang melambung. Bank sentral AS tersebut akan terus berusaha membawa inflasi ke target 2%.

 

Keagresifan bank sentral tersebut diprediksi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, bahkan mengirim ekonomi menuju zona resesi. Maka dari itu, isu resesi global yang kian santer di beberapa pekan ini, turut menekan permintaan akan komoditas termasuk CPO.