Kabar Baik! Bos Sawit, Harga CPO Nanjak Lagi Nih...
Harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) naik tipis di sesi awal perdagangan Selasa (25/10/2022), setelah pada awal pekan ini Bursa Malaysia Excchange Derivatives ditutup untuk memperingati Hari Raya Festival Diwali.
Mengacu pada Refinitiv, harga CPO pada sesi awal perdagangan menguat tipis 0,29% ke MYR 4.113/ton pada pukul 09:48 WIB.
Wang Tao, analis komoditas Reuters memprediksikan harga CPO hari ini akan bergerak pada kisaran MYR 3.958-4.001/ton karena masih berada di bawah titik resistance di MYR 4.194/ton.
Kenaikan pada harga CPO tampaknya disebabkan oleh selisih harga CPO yang lebih murah dibandingkan dengan minyak saingan, ditambah adanya potensi produksi CPO terganggu karena cuaca ekstrem.
Seperti diwartakan Borneo Bulletin, bahwa harga CPO periode November ke India yang merupakan importir terbesar CPO dunia, kini di banderol dengan harga US$ 976/ton, termasuk biaya, asuransi, dan pengiriman. Jika dibandingkan dengan harga pada Januari 2022, harga CPO lebih tinggi di US$ 1.010/ton.
Selisih harga yang cukup besar tersebut diprediksikan akan meningkatkan permintaan pada CPO, sehingga harga CPO dapat naik lagi ke depannya.
"Selisih antara minyak sawit dan kedelai sangat besar dan tidak berkelanjutan," kata Direktur Pelaksana Gemini Edibles dan Fats India Pvt. Ltd Pradeep Chowdhry, yang merupakan perusahaan importir India terkemuka dikutip Reuters.
"Permintaan beralih ke minyak sawit dari minyak nabati lainnya, sangat mungkin (harga) minyak sawit akan bergerak lebih tinggi," tambahnya.
Apalagi, tahun ini diprediksikan bahwa produksi CPO akan kembali terhambat karena cuaca ekstrem.
Biasanya, produksi minyak sawit mulai menurun pada November di Indonesia dan Malaysia, yang menyumbang lebih dari 80% produksi global. Namun tahun ini, penurunan produksi diperkirakan akan lebih tajam karena pola cuaca La Nina ketiga berturut-turut yang langka membawa hujan lebat di seluruh Asia Tenggara.
"Kami menghadapi hujan deras selama tiga hari terakhir, ada banjir kecil di sana-sini," kata Fabian Lim, seorang manajer perkebunan di negara bagian Sabah, penghasil minyak sawit terbesar di Malaysia.
"Ini mempengaruhi evakuasi panen saya," tambahnya.
Banjir dan hujan lebat membuat para pekerja sulit memanen tanaman kelapa sawit dan memindahkan tandan buah segar ke pabrik untuk diproses.
Sementara itu, dari dalam negeri, pada Senin (24/10), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa Indonesia dapat menghasilkan 100 juta ton minyak sawit pada tahun 2040 jika program penanaman kembali berkembang.
"Pihak berwenang menemukan Indonesia memiliki 16,8 juta hektar area yang ditanami kelapa sawit, dibandingkan dengan angka resmi 16,38 juta hektar selama tahap pertama audit, yang telah selesai," kata Luhut.
"Pemerintah sedang mendata luas masing-masing perkebunan, status legalitas lahan, tingkat produksi, dan harga jual sawit," katanya.
Audit berusaha untuk meningkatkan transparansi di sektor ini, memastikan perusahaan membayar pajak dengan benar, melindungi hutan dengan lebih baik, dan meningkatkan perkiraan hasil.
Ini akan membuat Indonesia lebih efisien ke depan," tambah Luhut.
Menurut Luhut bahwa temuan awal akan segera dilaporkan ke presiden, tapi tanpa mengungkapkan rincian lebih lanjut atau kapan audit penuh akan selesai.
Luhut mengatakan pekebun yang ditemukan telah melanggar aturan penggunaan lahan "tidak akan dikriminalisasi", tetapi pemerintah mungkin akan menarik "jumlah yang wajar" dari denda.
Audit juga dapat membantu meningkatkan penyerapan program penanaman kembali pohon kelapa sawit untuk petani kecil, yang telah menghadapi kesulitan untuk lepas landas karena perjuangan petani kecil untuk membuktikan hak atas tanah mereka.
Dia mengatakan jika hasil per hektar dapat ditingkatkan menjadi 10 ton, dari produksi saat ini yang kurang dari 4 ton per hektar. Jika berhasil, maka Indonesia dapat mencapai angka 100 juta ton per tahun tanpa memperluas area budidaya.
Dia juga mengatakan setengah dari output dapat digunakan untuk energi. Indonesia saat ini memiliki program wajib B30, yang berarti 30% campuran biofuelnya dibuat dari minyak sawit, dan sedang melakukan uji jalan untuk B40.
Sejatinya, pemerintah Indonesia melakukan pengembangan biodiesel untuk nantinya digunakan menjadi substitusi solar untuk mengurangi subsidi dan kompensasi energi dalam negeri yang sudah menembus angka Rp 504,2 triliun.
Mengacu pada data Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), pada 2020 silam, program B30 berhasil menurunkan defisit neraca perdagangan sebesar US$ 3,73 miliar. Selain itu, biodiesel juga membantu menurunkan 24,6 juta ton karbondioksida (CO2) atau setara dengan menurunkan 7,8% gas emisi karbon rumah kaca.
Selain itu, biodiesel juga menjadi salah satu program percepatan pengembangan energi baru terbarukan untuk masa depan.
Jika produksi CPO Indonesia dapat meningkat dan program biodiesel berhasil diterapkan, tentunya subsidi pemerintah untuk solar bersubsidi akan berkurang. Sisi lainnya, permintaan akan CPO dalam negeri yang meningkat akan membantu menstabilkan harga CPO dunia.
- Dilihat: 238